Perasaan adalah hal tabu yang tak pernah bisa dibicarakan oleh manusia. Termasuk kita. Dua insan yang saling mengatup bibir di hadapan langit dan laut. Beranjak menjatuhkan kaki sebagai jangkar hidup. Berlarian kesana-kemari. Menatap perahu bergenang. Kendati ia berpetualang seperti sebuah harapan. Kita diam, syahdu menikmati semilir angin tenggara. Dalam hati mendongeng perihal arti kata ikhlas. Malu-malu merekah senyum saat pertemuan ujung kelopak menjadi pertimbangan. Risau bagaimana akhir cerita. Tidak tahu akan ke mana lagi keluh kesah bermuara. Walau akhirnya tak jadi satu. Tetapi, hidup adalah tugas dari Tuhan. Hari ini atau esok lusa. “Siapa bisa membantah?” Selalu ada alasan mengapa manusia dipertemukan. Entah untuk saling menggenggam atau berpisah jalan. Lambat laun, kekecewaan seperti rumah untuk dihuni. Kita tabah merawat luka. Di tengah singgasana, tersadar. Bumi terlalu untuk kita isi penuh dengan kenangan. Maka, menepilah perasaan-perasaan yang mengakar ...
Aku mendadak ketakutan seorang diri, takut apabila rumah ini punya batas sewa seperti ibu. Aku pernah termangu sambil diam mengamati cermin kemudian mulai bertanya-tanya. Sejak kapan aku mahir mengepang rambut hitam pekatku? Sejak kapan aku piawai memasak lauk? Sejak kapan aku sukar merias diri dan memakai pemerah bibir? Sejak kapan aku pandai berjalan sementara dahulu untuk merangkak saja perlu ditopang? Lambat laun usiaku menginjak kepala dua, tetapi aku masih rindu aroma kue ibu setiap menjelang hari raya. Kata teman, masakan ibu lezat. Aku rindu sarapan pagi. Aku rindu jalan-jalan dan mampir ke toko boneka. Aku rindu merengek tidak mau mandi. Aku rindu belaian ibu menyisir helai rambutku setiap senja merambat. Namun, suatu hari ibu menawarkan pelukan hangat di depan orang-orang dewasa yang datang menjenguk. Aku pikir itu perayaan atas kesembuhannya. Dokter berkumpul di ruang itu dan memintaku untuk pergi ke luar. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku pernah mena...
Di antara nada-nada lagu yang menenangkan. Kepala Puan hanyut menimang-nimang kolase masa lalu. Perihal Tuan, yang enggan ia tanyakan kabarnya. Perihal Tuan, yang masih ia tebak-tebak isi hatinya. Seandainya saja, Puan bisa membuka kembali pintu masa lalu, maka Puan akan berlari mencari-cari tempat persembunyian Tuan. Puan hanya ingin mengajak Tuan berbincang, tertawa bersama, dan mengenal lebih dekat lagi. Puan pasti tidak hanya akan terpaku menatap langit dengan perasaan hampa. Sambil mendongak, kegelapan awan mengingatkan Puan pada Tuan. “Apakah kita sedang menatap langit yang sama, Tuan? Dengan awan gelap yang sempurna membungkus malam? Tak ada hiasan lain, sebab langit mendung akan segera menurunkan hujan. Ataukah pada jarak yang amat jauh, kau menemukan awan yang sedikit bersinar? Dengan cahaya emas rembulan dan rasi bintang di sekitarnya?” Tahun-tahun berlalu begitu cepat seperti kilatan cahaya dan gemuruh petir yang saling bersusulan, dan Puan selalu saja berkata, “A...
Comments
Post a Comment