Kehilangan Pemilik Rumah
Aku mendadak ketakutan seorang diri, takut apabila rumah ini punya batas sewa seperti ibu.
Aku pernah termangu sambil diam mengamati cermin kemudian mulai bertanya-tanya. Sejak kapan aku mahir mengepang rambut hitam pekatku? Sejak kapan aku piawai memasak lauk? Sejak kapan aku sukar merias diri dan memakai pemerah bibir? Sejak kapan aku pandai berjalan sementara dahulu untuk merangkak saja perlu ditopang? Lambat laun usiaku menginjak kepala dua, tetapi aku masih rindu aroma kue ibu setiap menjelang hari raya. Kata teman, masakan ibu lezat. Aku rindu sarapan pagi. Aku rindu jalan-jalan dan mampir ke toko boneka. Aku rindu merengek tidak mau mandi. Aku rindu belaian ibu menyisir helai rambutku setiap senja merambat.
Namun, suatu hari ibu menawarkan pelukan hangat di depan orang-orang dewasa yang datang menjenguk. Aku pikir itu perayaan atas kesembuhannya. Dokter berkumpul di ruang itu dan memintaku untuk pergi ke luar. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Aku pernah menatapnya saat rembulan menggantung di atas langit. Sosok ibu yang kukenal melempar senyum simpul bertajuk kebahagiaan. Aku menyapanya di ujung kelopak. Lalu, ibu bilang bahwa ia rindu tidur di kasur rumah dan membangunkanku setiap pagi untuk berangkat sekolah.
Aku tiba-tiba jadi lebih pendiam merenungi kalimat itu. Kepada burung-burung yang terlelap di sangkar dan bertengger di dahan pohon. Aku ingin pulang ke rumah persis seperti kalian. Sebab ketika kalimat harap ibu tempo hari dipintal oleh Tuhan. Adalah tidur di kasur rumah, bukan di brankar rumah sakit, segerombolan orang datang dengan isak tangis. Aku kehilangan sangkar. Daun-daun gugur tanpa mengucapkan kalimat perpisahan. Mega mendung menyelimuti langit pagi. Kudapati kompak sepasang mata sembab ketika aku melewati kamar, ruang tamu, dan teras.
Kehilangan ibu adalah mimpi yang paling buruk.
Kehidupan yang pilu ini kemudian kuhuni lebih lama daripada ikhlasku. Sejak tak terlihat lagi wajah ibu menyambut kedatanganku dan melucuti seragam. Rumah yang kuhuni tampak tak terawat. Tawa yang biasanya ramai terdengar digantikan oleh sunyi yang kosong.
Aku mendadak ketakutan seorang diri, takut rumah ini punya batas sewa seperti ibu kemudian aku merasakan pilu lagi. Untuk kedua kalinya. Walau kurasa itu lebih baik dibandingkan aku bernapas dengan dada sesak di tempat yang penuh dengan duka. Aku tak ingin menjual rumah ini. Segudang kenang manis adalah satu-satunya harta berharga yang kupunya.
Comments
Post a Comment